Empu Tantular hidup pada zaman Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Maharaja Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk) sekitar abad ke-14. Empu Tantular adalah seorang pujangga ternama Sastra Jawa. Nama”Tantular”terdiri dari dua kata: tan (“tidak”) dan tular (“tular” atau “terpengaruhi”). Artinya ia orangnya ialah “teguh”. Sedangkan kata empu merupakan gelar dan artinya adalah seorang pandai atau tukang.

Empu Tantular merupakan seorang penganut agama Buddha, namun ia terbuka terhadap agama lainnya, terutama agama Hindu-Siwa. Hal ini bisa terlihat pada dua syairnya yang ternama, Arjunawijaya dan Sutasoma. Bahkan salah satu bait dari kakawin Sutasoma diambil menjadi semboyan Republik Indonesia, yaitu “Bhineka Tunggal lka” yang mempunyai makna walaupun berbeda-beda namun tetap satu. 

Bhinneka Tunggal lka Tan Hana Dharma Mangrwa merupakan pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan pada masa Kerajaan Majapahit kala itu. Tidak hanya Hindu-Siwa dan Buddha saja, tetapi juga sejumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih dahulu sebagian besar anggota masyarakat yang majemuk. Ketika itu masyarakat Majapahit terbagi: 

  1. Golongan pertama, orang-orang yang beragama Islam yang datang dari barat dan tinggal di Majapahit.
  2. Golongan kedua, orang-orang Tiongkok yang sebagian besar berasal dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou (terletak di i Fukien) yang menyingkir dan bermukim di sini. Banyak dari mereka yang kemudian masuk agama Islam dan bahkan menyiarkan agama tersebut.Β 
  3. Golongan ketiga, penduduk asli yang masih percaya sepenuhnya pada roh-roh leluhur.

Nilai inspiratif tentang perbedaan yang majemuk namun tetap satu ini diadaptasi sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan untuk menumbuhkan rasa dan semangat persatuan. Bhinneka Tunggal lka diangkat menjadi semboyan yang diabadikan dalam Lam bang Negara, Garuda Pancasila. Garuda Pancasila dengan semboyannya Bhinneka Tunggal lka ditetapkan pada tanggal 17 Oktober 1951 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 dan diundangkan tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang Negara.

Bhinneka Tunggal lka telah sama-sama diakui dan dirasakan mempunyai “kekuatan” untuk menyatukan, mengutuhkan, dan meneguhkan bangsa Indonesia yang majemuk atau disebut sebagai salah satu sarana pengintegrasi bangsa Indonesia atau sebagai jati diri bangsa Indonesia.

Bhinneka Tunggal lka semula diselidiki oleh Prof. H. Kern pada tahun 1888 dalam lontar Purusadacanta atau lebih dikenal dengan Sutasoma (lembar 120) yang disimpan di perpustakaan Kota Leiden, dan kemudian diselidiki kembali oleh Muhammad Yamin. Semboyan ini berproses kristalisasi dari pergerakan nasional 1928 sampai berdirinya Negara Republik Indonesia 1945 dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam lambang negara sejak 8 Februari 1950. Latar belakang pemikiran Bhinneka Tunggal lka dapat dijelaskan melalui keterangan Mohammad Hatta dalam bukunya Bung Hatta Menjawab, 1979. Ke lka-an di dalam Bhinneka Tunggal lka adalah berwujud unsur-unsur kesatuan dalam kehidupan bangsa, dalam arti adanya segi-segi kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan dan kejiwaan yang bersatu dan dipegang bersama oleh segala unsur unsur ke-Bhinneka-an itu.

Bhinneka Tunggal lka yang menurut keterangan Presiden Soekarno adalah masukan dari seorang ahli bahasa. Hal ini pun dikuatkan dalam terminologi Pancasila yang dinyatakan oleh Presiden Soekarno, juga atas usulan ahli bahasa, “Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila, Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi”. Ahli bahasa yang dimaksud Soekarno adalah Mohammad Yamin.

Pada masa Soekarno, Bhinneka Tunggal lka pada pita yang dicengkeram cakar Garuda adalah sebuah sinergitas atau perpaduan terhadap pandangan kenegaraan antara paham federalis (kebhinnekaan) dengan paham kesatuan/unitaris (tunggal), sebagaimana kita ketahui Sultan Hamid II adalah tokoh berpandangan federalisme yang mengutamakan prinsip keragaman dalam persatuan, sedangkan Soekarno adalah tokoh berpandangan unitaris yang mengutamakan prinsip persatuan dalam keragaman.

Dari sejarah, kita mengetahui bahwa gerakan rakyat untuk melawan kolonialisme Belanda, telah mempersatukan atau menyatukan berbagai golongan, suku dan agama, dan aliran politik dalam semangat Sumpah Pemuda tahun 1928 yang mengikrarkan satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *