Radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti akar. Radikalisme mengandung pengertian berpikir secara mendalam terhadap sesuatu sampai ke akar-akarnya. Radikalisme merupakan istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal. Radikalisme merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan terhadap suatu sistem di mas- yarakat sampai ke akarnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam politik.

Dilihat dari sudut pandang keagamaan, radikalisme agama dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada pondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham atau aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham atau aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.

Berdasarkan pengertian radikalisme tersebut, maka tak dapat dihindari adanya kesan negatif dari gerakan radikalisme, yaitu adanya unsur paksaan dan mungkin juga tindakan kekerasan dalam upaya mengaktualisasikannya. Dalam kontek ini, barangkali dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada agama apa pun yang mengajarkan radikalisme.

Faktor-Faktor Penyebab Radikalisme

Faktor Pemikiran

Pada masa sekarang muncul dua pemikiran yang menjadi trend, yang pertama yaitu mereka menentang terhadap keadaan alam yang tidak dapat ditolerir lagi, seakan alam ini tidak mendapat keberkahan lagi dari Allah SWT lagi, penuh dengan penyimpangan. Sehingga satu-satunya jalan adalah dengan mengembalikannya kepada agama. Namun jalan yang mereka tempuh untuk mengembalikan ke agama itu ditempuh dengan jalan yang keras dan kaku. Padahal nabi Muhammad SAW selalu memperingatkan kita agar tidak terjebak pada tindakan ekstremisme (at-ta’aruf al-diniy), berlebihan (ghuluw), berpaham sempit (dhayy- iq), kaku (tanathu’/rigid), dan keras (tashadud). Pemikiran yang kedua yaitu bahwa agama adalah penyebab kemunduran umat Islam, sehingga jika mereka ingin unggul maka mereka harus meninggalkan agama yang mereka miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan hasil dari pemikiran sekularisme, yaitu dimana paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan atas pada ajaran agama.

Faktor Ekonomi

Kemiskinan, pengangguran dan problematika ekonomi yang lain dapat merubah sifat seseorang yang baik menjadi orang yang kejam. Karena dalam keadaan terdesak atau himpitan ekonomi, apapun bisa mereka lakukan, bisa saja mereka juga melakukan teror. Mereka juga berasumsi bahwasannya perputaran ekonomi hanya dirasakan oleh yang kaya saja, hal itu menyebabkan semakin curamnya jurang kemiskinan bagi orang tak punya. Sehingga mereka tidak segan-segan melakukan hal-hal yang diluar dugaan kita. Sebagaimana hadits nabi โ€œkefakiran dapat menyeret kita kepada kekafiran”.

Faktor Politik

Memiliki pemimpin yang adil, memihak kepada rakyat, dan tidak hanya sekedar menjanjikan kemakmuran kepada rakyatnya adalah impian semua warga masyarakat. Namun jika pemimpin itu menggunakan politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka akan timbul kelompok-kelompok masyarakat yang akan menamakan dirinya sebagai penegak keadilan, baik kelompok dari sosial, agama maupun politik, yang mana kelompok-kelompok tersebut dapat saling menghancurkan satu sama lain. Seperti halnya golongan khawarij yang lahir pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib yang disebabkan oleh ketidakstabilan politik pada masa itu, sehingga muncullah golongan syi’ah dan khawarij yang merasa paling benar sendiri.

Faktor Sosial

Faktor sosial ini masih ada hubungannya dengan faktor ekonomi. Ekonomi masyarakat yang amat rendah membuat mereka berpikir sempit, dan akhirnya mereka mencari perlindungan kepada ulama yang radikal, karena mereka berasumsi akan mendapat perubahan perekonomian yang lebih baik. Dimulai dari situ masyarakat sudah bercerai berai, banyak golongan-golongan Islam yang radikal. Sehingga citra Islam yang seharusnya sebagai agama penyejuk dan lembut itu hilang. Disinilah tugas kita untuk mengembalikan Islam yang seharusnya sebagai “rahmatan lil alamin” agar saudara muslim kita yang tadinya sedikit bergeser tidak semakin bergeser dan kembali kepada akidah-akidah dan syari’ah Islam yang sebenarnya.

Faktor Pendidikan

Pendidikan bukanlah faktor yang langsung menyebabkan radikalisme. Radikalisme dapat terjadi dikarenakan melalui pendidikan yang salah. Terutama adalah pendidikan agama yang sangat sensitif, karena pendidikan agama “amal ma’ruf nahi munkarโ€, namun dengan pendidikan yang salah akan berubah menjadi “amal munkar”. Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemaha- mananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan.

Faktor Psikologis

Pengalaman seseorang yang mengalami kepahitan dalam hidupnya, seperti kegagalan dalam karier, permasalahan keluarga, tekanan batin, kebencian dan dendam. Hal-hal tersebut dapat mendorong seseorang untuk berbuat penyimpangan dan anarkis. Kita yang seharusnya senantiasa mengingatkan kepada mereka dari penyimpangan. Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. saudara muslim kita yang seperti itulah yang menjadi target sasaran orang radikal untuk diajak bergabung dengan mereka. Karena dalam keadaan seperti itu mereka sangat rentan dan mudah terpengaruh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *