Etika berasal dari bahasa Yunani, Ethos, yang berarti kebiasaan atau watak, dan dalam bahasa Prancis disebut etiquet atau etiket yang dapat diartikan sebagai kebiasaan atau cara bergaul dan berperilaku yang baik. Secara konsep, etika dipahami sebagai “suatu sistem nilai yang mengatur mana yang baik dan mana yang buruk dalam suatu kelompok atau masyarakat”. Etika (ethics) merupakan salah satu cabang filsafat moral atau pembenaran- pembenaran filosofis (philosophical judgement). Moral juga bisa merupakan suatu instrumen dalam suatu masyarakat, apabila suatu kelompok sosial menghendaki tuntunan bertindak untuk segala pola tingkah laku yang disebut moral.

Namun, moral memiliki pertimbangan lebih tinggi dalam menentukan kebenaran dan keharusan. Sekalipun dalam penerapan sanksi atas pelanggaran moral terhadap pelanggarnya tidak memperlakukan tindakan paksaan secara fisik seperti dihukum dalam penjara, tetapi lebih kepada sanksi sosial seperti rasa bersalah, malu, merasa terkucilkan oleh komunitas, dan sanksi verbal lainnya. Jadi, moral kadang-kadang bisa berwujud seakan-akan hukum yang harus ditaati tetapi juga sebagai konvensi.

Moral dalam pengertian umum yang sering kita lihat lebih menekankan pada karakter dan sifat individu yang khusus. Kondisi khusus itu bersifat baik, tetapi sifat baik dimaksud tidak dilandasi atau ditentukan oleh perasaan ketaatan terhadap peraturan, seperti dalam kasus murah hati, kasih sayang, empati, berjiwa besar, dan sebagainya. Itu semua dilakukan seseorang bukan karena taat atas peraturan tetapi karena kesadaran sendiri yang didorong oleh hati nuraninya. Dengan kata lain, moral merupakan pendorong seseorang untuk melakukan tindakan baik seakan-akan sebagai kewajibannya, karena itu moral dapat menjadi parameter (alat ukur) tindakan baik/buruk.

Pengertian Etika Birokrasi

Menurut Yahya Muhaimin, birokrasi adalah keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang bertugas membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik) dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu. Sedangkan Hegel melihat bahwa birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam saat-saat tertentu berbeda. Oleh sebab itu, peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam rangka menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.

Etika birokrasi (administrasi negara) adalah seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu pada kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi: pertama, sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai baik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya antara lain efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merit sistem, responsible, accountable, dan responsiveness.

Etika Pemerintahan dalam Pelayanan Publik

Pemerintah sebagai alat negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negara, memberikan rasa aman, kesejahteraan, dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada warga negaranya. Bila dikaitkan dengan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tugas pemerintah adalah untuk mewujudkan cita-cita negara. Ini pula yang menjadikan aparat pemerintahan menjalankan aktivitas keseharian memberikan pelayanan kepada masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban tersebut perlu dilandasi dengan etika pemerintahan sebagai pedoman atau tuntunan sehingga tidak keluar dari koridor yang akan merendahkan kewibawaan pemerintah sebagai alat negara. Di dalam etika pemerintahan ada tiga prinsip yang harus dipegang untuk melaksanakan penyelenggaraan negara yaitu:

  1. Adanya itikad baik: Mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan, tidak mengambil jalan pintas. Menempuh jalan pintas (menerobos) mengandung konsekuensi melanggar nilai-nilai keadilan dan ini berarti bukan memecahkan masalah melainkan menciptakan masalah baru.
  2. Profesional: Mampu bekerja secara cepat, tepat, dan akurat, didukung dengan perilaku yang sopan dan siap melayani secara adil.
  3. Altruistik: Mengutamakan kemanfaatan bagi orang banyak (tidak egois) dan berdiri di atas semua golongan. Pengamalan etika yang baik akan melahirkan konsekuensi berupa komitmen untuk menjadikan seorang aparatur memiliki moralitas pemerintahan dan menjunjung semua nilai-nilai kebaikan.

Sehingga dapat dilihat, seorang aparatur yang beretika dalam sikap dan perilaku sehari-hari di lingkungan pemerintahan akan senantiasa terpanggil untuk menjaga kewibawaan pemerintah, menjalankan fungsinya dengan sebaik mungkin, dan menghindari penyimpangan yang mencoreng citra pemerintahan. Aparatur pemerintahan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya tidak terlepas dari kode etik yang dijadikan landasan etis yang berlaku bagi setiap aparatur pemerintahan, dimana kode etik tersebut dapat tercermin dari Panca Prasetya KORPRI yang tertuang dalam Keputusan MUNAS VI KORPRI Nomor: Kep-8/Munas/2014 yaitu anggota KORPRI beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah insan yang:

  1. Setia dan taat kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
  2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.
  3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
  4. Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia.
  5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme.

Menilai tindakan seseorang apakah sudah sesuai dengan norma etika adalah bukan hal mudah. Umumnya, orang menilai suatu perbuatan disebut bermoral atau beretika apabila tindakan atau perbuatan tersebut memiliki tujuan yang baik, tidak merugikan orang lain ataupun diri sendiri, tidak mementingkan diri sendiri serta menjunjung tinggi harkat dan martabat sebagai manusia. Untuk mewujudkan pelayanan publik perlu dikembangkan sikap dan perilaku keteladanan serta penerapan nilai-nilai konsistensi dan tanggung jawab. Ada beberapa sikap dan kepribadian yang harus dipegang oleh aparatur pemerintah berkaitan dengan pelayanan publik yaitu:

  1. Kejujuran dalam melaksanakan tugas: Kejujuran merupakan sikap yang harus dimiliki oleh aparatur pemerintahan.
  2. Mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi.
  3. Melayani publik dengan semangat pengabdian dan ikhlas dengan niat ibadah karena Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, pelaksanaan tugas dan tanggung jawab oleh pemerintah kepada rakyat dalam pemenuhan hak-hak dasar perlu dilandasi dengan memegang teguh etika dalam hal ini adalah kode etik aparatur pemerintahan yang dapat menuntun kepada arah atau koridor kebenaran dalam melaksanakan pelayanan publik.

Etika dan Akuntabilitas Sektor Publik

Birokrasi macam apa yang mampu melaksanakan prinsip etis dalam pola kerjanya menjadi diskusi yang menarik sehingga teoretikus administrasi publik merumuskan bermacam-macam metode. Konsep birokrasi Weber merupakan tipe birokrasi ideal yang menerapkan prinsip-prinsip etika. Birokrasi Weberian memiliki karakteristik utama, yakni:

  1. Terdapat pembagian tugas (division of labor) dan deskripsi tugas (job description) yang jelas.
  2. Terdapat hirarki dalam organisasi (the principle of hierarchy).
  3. Terdapat sistem kerja yang baku (system of rules).
  4. Kinerja pegawai didasarkan pada spirit netral dan impersonal (formalistic impersonality; sine ira et studio): Netralitas birokrasi menurut Weber merupakan aspek utama pembentukan etika birokrasi, yakni birokrasi yang bekerja secara profesional.
  5. Terdapat sistem karier bagi pegawai (career system), di mana perekrutan pegawai berdasarkan pada sistem meritokrasi (merit system) sesuai kompetensi yang dimiliki masing-masing pegawai.

Namun, birokrasi Weberian—meskipun ideal—perlu diimplementasikan secara hati-hati. Sistem administrasi yang terlampau efektif justru akan menghambat pembangunan karena birokrasi yang kuat cenderung menyebabkan pranata sosial politik yang lain melemah. Intervensi pemerintah dalam banyak bidang pembangunan (misalnya ekonomi, pertanian, industri, kelautan, kehutanan) dapat menumpulkan partisipasi kelompok masyarakat (society) dalam pembangunan. Sistem administrasi yang dominan cenderung menghambat kebebasan dan melahirkan sistem yang bersifat etatis. Hal ini oleh Bryant dan White disebut sebagai the paradox of development administration.

Dengan bahasa yang lebih sederhana, suatu birokrasi yang besar dapat merusak fungsi-fungsi dasar organisasi pemerintahan dan sosial masyarakat, sehingga seringkali muncul ketidakseimbangan dalam pembangunan nasional. Misalnya, kurang berkembangnya partisipasi, tumbuhnya sistem yang bersifat etatis, maraknya budaya kolusi dan korupsi, serta merajalelanya budaya KKN yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas yang dicanangkan Weberian.

Membangun etika pemerintahan berarti membangun suatu sistem yang akan mendorong terbentuknya budaya etis dalam bekerja, termasuk menumbuhkan sikap akuntabilitas di dalamnya. Akuntabilitas dalam birokrasi publik adalah kemampuan untuk mempertanggungjawabkan semua tindakan yang diambil oleh birokrat publik, baik dari sisi penggunaan anggaran, pelaksanaan program, maupun hasil yang dicapai. Akuntabilitas juga mencakup keberanian untuk menjelaskan dan melaporkan kinerja kepada publik secara transparan.

Implementasi etika dalam birokrasi pemerintah harus diikuti dengan penerapan prinsip akuntabilitas yang ketat. Akuntabilitas mendorong terbentuknya birokrasi yang responsif dan transparan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Akuntabilitas juga menjamin bahwa semua sumber daya yang dikelola oleh pemerintah digunakan secara efektif, efisien, dan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam konteks pelayanan publik, penerapan etika dan akuntabilitas memiliki dampak langsung pada kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Dengan berpegang pada prinsip etika dan akuntabilitas, aparatur pemerintah akan lebih mampu memberikan pelayanan yang adil, transparan, dan profesional, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat langsung dari pelayanan yang diberikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *